Nilaiku Di Mata Yesus

Kehidupanku saat ini, dibandingkan dengan kehidupan beberapa tahun yang lalu sungguh berbeda. Dulu, aku begitu bersemangat berkarya untuk Tuhan lewat talentaku. Dulu, aku bersemangat mengajak teman-teman sekolah ke gereja. Dulu, aku begitu rindu untuk menyenangkan hati Tuhan setiap saat. Bahkan, Tuhan pernah berbicara secara pribadi mengenai visi hidupku. Visi yang besar itu kemudian diteguhkan oleh salah seorang hamba Tuhan yang mengurapiku di sebuah pertemuan Ibadah. Aku merasa senang karena aku bisa sedikit “berguna” bagi Kerajaan Allah. 

Namun seiring dengan bertambahnya usia dan tanggung jawab dalam pekerjaan dan keluarga, aku merasa berjalan di tempat. Aku mulai merasa tidak meraih apa-apa dan visi yang besar itu seakan menjadi beban yang mulai menggerogoti sukacitaku. Aku jarang bersyukur dan merasa gagal. Aku merasa telah mengecewakan Tuhan Yesus dengan kehidupan ini. Hari-hari penuh stress aku jalani dan aku tidak konsisten dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Kasih Bapa seringkali memulihkanku, namun di waktu-waktu tertentu rasa gagal mulai menyerang lagi. Situasi ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya Tuhan memulihkanku lewat berbagai cara.

Cara pertama, Tuhan memakai salah seorang saudari seiman yang menasehati aku untuk mencari jati diriku di dalam Tuhan. Hikmatnya begini, aku bertanya pada Tuhan, “Bapa, kalau misalnya aku tidak bisa menyelasikan visi yang Kau berikan atau kalau saja aku ini tidak memiliki talenta apa-apa. Bagaimana Kau melihatku?”. Aku mendapatkan jawabannya dalam Mazmur 139:8b, “...jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.” Firman ini berbicara secara pribadi bahwa Bapa di Surga mengasihiku bahkan ketika aku berada di dunia orang mati yang tidak ada apa-apa (kosong, hampa, tanpa talenta, tanpa visi). 

Cara kedua, Bapa berbicara langsung padaku ketika sedang menyembah di Ibadah. Ketika penyembahan sebelum doa penutup, Bapa berbicara jelas sekali. Satu kalimat-Nya yang memerdekakanku dari rasa gagal yang menghantui selama ini adalah,”Di mata-Ku, nilai dirimu yang dulu (ketika masa sekolah yang penuh semangat, merasa sudah menyenangkan Tuhan) dengan nilai dirimu yang sekarang (ketika masa bekerja yang penuh rutinitas, merasa diri gagal) adalah SAMA. Aku sangat mengasihi-Mu dulu, maupun sekarang. Kasih-Ku SAMA nilainya.” Ada pemulihan yang besar saat Bapa berbicara padaku siang itu. 

Aku mau tutup dengan dua buah kalimat dari Pemimpin saya dan salah seorang saudara seimanku. Kalimat pertama adalah, “Tidak ada tindakan apa pun yang dapat kita lakukan untuk menambah dan mengurangi kasih Allah pada kita.” Kalimat kedua adalah,”Kita tidak harus melihat ujung dari perjalanan kita (pencapaian, tergenapinya visi hidup) selama kita berjalan bersama Yesus.” Saudara-saudaraku yang kukasihi, mari kita menyadari siapa identitas kita di dalam Kristus. Kita sudah ditebus, dibayar lunas, dikasihi, bahkan ketika kita masih berdosa. Dan saat ini, kita sedang berjalan bersama-Nya untuk melakukan kehendak-Nya, yaitu visi hidup kita yang selalu berkaitan dengan Amanat Agung. Bukannya Dia telah berjanji akan menyertai kita sampai akhir jaman. Bangkit! Dan lihatlah betapa berharganya dirimu. Bangkit! Dan lihatlah betapa Dia setia senantiasa untuk mendampingimu sampai pada akhir perjalananmu. (jak)